Pekerjaan Dengan Bayaran Tertinggi
“Gaji yang kita terima, belum tentu sesuai harapan. Sedangkan imbalan disisi TUHAn, pasti memuaskan..”
Slip gaji diklasifikasikan sebagai dokumen confidential. Anda tentu tidak ingin orang lain mengetahui angka-angka yang tertulis dalam kertas slip gaji Anda, bukan? Kepada suami atau istri, mungkin tidak keberatan untuk memperlihatkannya. Tetapi kepada orang lain? Tentu tidak. Anehnya, kadang kita tergoda oleh rasa ingin tahu terhadap angka-angka yang tertera dalam slip gaji orang lain.
Memang, Anda tidak bakal membuang-buang waktu untuk mengintipnya, apalagi secara paksa meminta orang lain memperlihatkannya. Tapi, jika ada kesempatan untuk melihatnya boleh jadi kosa kata yang kita gunakan berbunyi ‘kenapa tidak?’. Lantas seandainya Anda ‘berhasil’ mengetahui slip gaji orang lain, apakah hal itu akan berdampak positif bagi Anda ataukah malah sebaliknya?
Adasebuah kejadian menarik.
Seorang manager secara tidak sengaja menemukan selembar kertas yang tergeletak dalam tray mesin foto copy kantornya. Untuk menggunakan mesin fotocopy itu dia harus memindahkan kertas ‘tak bertuan’ itu. Ketika meraihnya, dia menyadari jika kertas itu berisi data tentang gaji manager lain yang baru saja di hire dari perusahaan lain. Secara tidak sengaja pula, terlihatlah angkanya. Dibandingkan dengan gajinya sendiri, beda berkali-kali lipat. Sejak saat itu, dia tidak bisa melupakan bahwa ternyata gaji yang selama ini diterimanya berbeda jauh dari kolega barunya. Dibawah deraan ‘informasi’ yang mengejutkan itu, sang manager memiliki 2 pilihan; menghadap atasannya untuk meminta kenaikan gaji, atau memendam rasa kesal atas perbedaan gaji dengan orang baru yang belum tentu kerjanya bagus itu. Sang manager tidak mengambil kedua pilihan itu. Dia tetap mengingat kejomplangan itu, namun tidak membiarkannya berpengaruh buruk bagi perasaan dan perilakunya. Dia terus saja bekerja sebagaimana biasanya. Beberapa waktu kemudian, dia mendapatkan lebih banyak kepercayaan dan pendapatan hingga jauh melampaui angka orang lain yang pernah dilihatnya itu.
Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menyelami kisahnya, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence (NatIn) berikut ini :
1. Bayaran adalah sebuah kepantasan.
Bersediakah Anda bekerja tidak dibayar ? Mungkin mau kalau pekerjaan itu dilakukan untuk lembaga amal dan sesekali saja. Tetapi, jika dilakukan untuk organisasi bisnis atau sudah menjadi rutinitas? Hmmh…, sebaiknya Anda mempertimbangkan jawaban itu kembali. Wajar, jika kita tidak mau bekerja tanpa dibayar. Karena memang tidak pantas jika seseorang sudah bekerja untuk kita tetapi tidak mendapatkan bayaran yang sewajarnya. Bayaran atas pekerjaan yang dilakukan seseorang berbeda dengan tips. Boleh saja jika kita tidak memberi tips kepada seorang pelayan restoran yang menjalankan tugasnya untuk menyajikan makanan. Tetapi, kepada pembantu rumah tangga yang menyediakan makanan itu; wajib hukumnya untuk membayar gajinya. Setiap orang berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Dan orang atau seseorang yang mewakili lembaga yang mempekerjakannya berkewajiban untuk melakukan pembayaran itu. Karena bayaran adalah sebuah kepantasan.
2. Bayaran tidak pernah sepadan.
Berapa bayaran yang Anda terima dalam sebulan ? Sekarang coba bandingkan antara besarnya bayaran itu dengan resiko yang Anda hadapi dalam menjalankan pekerjaan itu. Resiko disepenjang perjalanan dari rumah menuju ke kantor, atau sebaliknya. Resiko selama melakukan pekerjaan itu. Resiko dalam perjalanan dinas diatas pesawat terbang, ditempat asing, atau di proyek. Bagaimana dengan terkena serangan jantung di ruang kerja kita yang nyaman? Atau, resiko ‘kecil’ lainnya yang sering tidak kita sadari semisal; anak yang jarang bertemu ayah ibunya yang sibuk. Berapapun bayaran yang kita terima, tetap tidak pernah bisa sepadan dengan resiko yang dihadapi. Boleh dikata setiap pekerjaan memiliki resiko yang lebih besar daripada rupiahnya. Oleh karenanya, bekerja hanya dengan dorongan mendapatkan uang sungguh sangat dangkal. Kita perlu menambahkan ‘kejaran atau penghasilan’ lain dalam bekerja melampaui keingingan kita untuk mendapatkan uang. Misalnya, perasaan yang dihasilkan salah seorang sahabat saya ketika mampu membantu bawahannya menapaki karir yang bahkan lebih tinggi dari dirinya. Atau ketika berhasil membuat pelanggannya tersenyum. Bagi sahabat saya itu, bahagia yang dirasakan didalam hatinya melampaui jumlah rupiah yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana dengan Anda?
3. Bayaran membatasi pemberdayaan diri.
Bagi sahabat yang saya ceritakan itu, pembayaran yang diterimanya tidak membatasi dirinya untuk terus mendedikasikan seluruh kapasitas diri untuk pekerjaannya meski tahu dia dibayar lebih rendah dari kolega barunya. Sungguh sebuah kualitas yang langka. Kebanyakan orang terdemotivasi lalu mengurangi kualitas atau kegigihannya dalam bekerja. Hal itu dilakukan bahkan dalam keadaan ‘tidak tahu’ apakah orang lain dibayar berkali lipat lebih tinggi atau tidak. Kadang kita juga tergoda untuk bekerja asal-asalan hanya karena ‘merasa’ pantas dibayar lebih tinggi. Tidak salah dengan ‘perasaan’ seperti itu. Yang salah adalah cara kita mengekspresikannya. Mengurangi kualitas kerja sama sekali tidak bisa membawa kita kepada kemungkinan untuk mendapatkan bayaran yang kita anggap pantas. Sahabat saya tidak menukar kesediaannya dalam bekerja dengan besar kecilnya gaji yang didapatkannya. Dia tidak menjadikan gaji sebagai alat penakar terhadap ‘berapa banyak yang dia kontribusikan’. Dan jalur yang ditempuhnya terbukti ampuh mengantarnya meraih sesuatu yang diimpikan banyak orang. Disaat orang lain mengejarnya, dia malah dihampirinya. Mengapa bisa begitu? Karena kebanyakan orang menakar kinerjanya dengan gaji saat ini. Sedangkan dia terus memberdayakan diri tanpa memusingkan berapa bayaran yang sekarang diterimanya.
4. Menetapkan tarip bayaran tertinggi.
“Mengapa elo tidak mengharapkan bayaran yang tertinggi?” begitu saya bertanya kepadanya. Pertanyaan itu dibalas oleh sebuah respon yang mengejutkan. “Lebih baik jika elo tanya; berapa tarip bayaranku,” katanya. “Baiklah,” kata saya. “Berapa berapa tarip bayaranmu?” Sebuah respon mengejutkan lain yang saya dapatkan. Sahabat saya mengatakan bahwa tarip bayarannya adalah sebuah angka yang tidak bisa dipenuhi oleh pemberi kerja manapun. Baginya itu bukanlah sebuah lelucon. Katanya; “makanya aku tidak pernah bekerja untuk siapapun selain untuk Dzat yang pasti sanggup memberiku bayaran dengan tarip tertinggi itu.” Hmmh, sekarang saya mengerti. Dia melangkahkan kaki dari rumahnya menuju ke tempat kerja dengan DOA diiringi tekad untuk melayani seseorang pada hari itu melalui pekerjaan yang dijalaninya. Tidak pernah ada keluh kesah singgah dihatinya. Bahkan dalam keadaan serba menyakitkan dan menyulitkan sekalipun. Dia yakin, semakin sulit pekerjaan yang dilaluinya hari itu; semakin tinggi tarip bayaran dari ‘sang pemberi pekerjaan’ itu. Begitulah caranya menetapkan tarip bayaran tertinggi. Dia menganggap apapun yang harus dilakukannya hari itu sebagai pekerjaan yang diberikan oleh Tuhan, untuk ditunaikannya. Maka, wajar jika tarip tertinggi yang ditetapkannya itu hanya bisa dibayar lunas oleh Sang Pemberi Kerja itu.
5. Syarat mendapat bayaran tertinggi.
Saya penasaran, bagaimana caranya mendapatkan tarip tertinggi itu? Jangan-jangan syaratnya sangat sulit? Bukankah semakin tinggi angka yang kita minta tentunya akan semakin sulit juga untuk mendapatkannya? Seseorang mungkin harus menjadi direktur untuk mendapatkan bayaran puluhan atau ratusan juta. Bagaimana mungkin karyawan yang tidak menduduki posisi tinggi seperti kita ini bisa mendapatkan bayaran dengan tarip tertinggi itu? Jabatan kita, ternyata tidak menentukan kualitas kerja kita. Dan posisi kita, sama sekali tidak mewakili kontribusi kita. Oleh karenanya, bayaran dengan tarip tertinggi itu tidak ada kaitannya dengan jabatan. Tangan kita ini, adalah anugerah bernilai tinggi. Ketika anugerah tangan ini disyukuri dengan menggunakannya untuk melakukan pekerjaan yang disukai Tuhan, maka Tuhanpun membayarnya dengan tarip tertinggi. Begitu pula dengan mata, kaki, kepala dan sekujur tubuh kita. Seperti sahabat saya itu. Dia tabah saat dimarahi pelanggannya. Dia tetap tegar setelah diomeli habis-habisan oleh atasannya. Dia tenang saja waktu tahu dicurangi temannya. Dan dia juga begitu telatennya mengembangkan anak buahnya. Mengapa? Karena dia percaya jika setiap orang yang berkaitan dengan pekerjaannya adalah kiriman Tuhan. Sungguh, Tuhanlah yang menjadikan mereka sebagai sarana untuk memberinya pekerjaan pada hari itu. Maka melayani mereka, serasa melayani TUHAN-nya. Sesederhana itulah syaratnya.
Boleh saja jika kita berusaha mengejar bayaran tinggi atas pekerjaan yang kita lakukan. Menyebar CV atau mengejar posisi yang lebih tinggi lagi. Tetapi hendaknya janganlah kita melupakan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan sederhana dengan tarip bayaran yang paling tinggi. Yaitu pekerjaan yang dikirim oleh Tuhan melalui kehadiran orang-orang disekitar kita. Mungkin mereka adalah pelanggan produk-produk kita. Mungkin juga atasan kita. Boleh jadi bawahan kita. Atau kolega. Bahkan boleh jadi, mereka adalah orang-orang yang tidak kita kenal, tidak pula kita pernah berjumpa. Marilah kita layani mereka dengan niat untuk melayani Dzat yang mengirimkan mereka kepada kita. Pasti kita akan dengan riang hati melakukannya. Maka apapun jenis profesi kita; kita bisa menjadikannya sebagai pekerjaan dengan bayaran tertinggi