Minggu, 26 Februari 2012
NABI YUSUF BERMIMPI
Pada malam di mana para saudaranya mengadakan pertemuan sulit yang mana untuk merancangkan muslihat dan rancangan jahat terhadap diri adiknya yang ketika itu Nabi Yusuf sedang tidur nyenyak , mengawang di alam mimpi yang sedap dan mengasyikkan ,tidak mengetahui apa yang oleh takdir di rencanakan atas dirinya dan tidak terbayang olehnya bahwa penderitaan yang akan dialaminya adalah akibat dari perbuatan saudara-saudara kandungnya sendiri, yang diilhamkan oleh sifat-sifat cemburu, iri hati dan dengki.
Pada malam yang nahas itu Nabi Yusuf melihat dalam mimpinya seakan-akan sebelas bintang, matahari dan bulan yang berada di langit turun dan sujud di depannya. Terburu-buru setelah bangun dari tidurnya, ia datang menghampiri ayahnya , menceritakan kepadanya apa yang ia lihat dan alami dalam mimpi.
Tanda gembira segera tampak pada wajah Ya’qub yang berseri-seri ketika mendengar cerita mimpi Yusuf, puteranya. Ia berkata kepada puteranya:” Wahai anakku! Mimpimu adalah mimpi yang berisi dan bukan mimpi yang kosong. Mimpimu memberikan tanda yang membenarkan firasatku pada dirimu, bahwa engkau dikurniakan oleh Allah kemuliaan ,ilmu dan kenikmatan hidup yang mewah. Mimpimu adalah suatu berita gembira dari Allah kepadamu bahwa hari depanmu adalah hari depan yang cerah penuh kebahagiaan, kebesaran dan kenikmatan yang berlimpah-limpah.Akan tetapi engkau harus berhati-hati, wahai anakku ,janganlah engkau ceritakan mimpimu itu kepada saudaramu yang aku tahu mereka tidak menaruh cinta kasih kepadamu, bahkan mereka mengiri kepadamu karena kedudukkan yang aku berikan kepadamu dan kepada adikmu Benyamin. Mrk selalu berbisik-bisik jika membicarakan halmu dan selalu menyindir-nyindir dalam percakapan mrk tentang kamu berdua. Aku khuatir, kalau engkau ceritakan kepada mrk kisah mimpimu akan makin meluaplah rasa dengki dan iri-hati mereka terhadapmu dan bahkan tidak mungkin bahwa mereka akan merancang perbuatan jahat terhadapmu yang akan membinasakan engkau. Dan dalam keadaan demikian syaitan tidak akan tinggal diam, tetapi akan makin mambakar semangat jahat mereka dan mengorbankan rasa dengki dan iri hati yang bersemayam dalam dada mrk. Maka berhati-hatilah, hai anakku, jangan sampai cerita mimpimu ini bocor dan didengar oleh mereka.”
Isi cerita tersebut di atas terdapat dalam Al_Quran ,dalam surah “Yusuf” ayat 4 sehingga ayat 10 yang berbunyi sebagai berikut:
Maksudnya:” {Ingatlah} ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas buah bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku”.
5. Ayahnya berkata: “Hai anakku ,jgnlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudar-saudaramu, maka mrk membuat muslihat {utk membinasakanmu} .Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
6. Dan demikianlah Tuhanmu memilih kamu {utk menjadi Nabi} dan diajarkannya kepada kamu sebahagian dari takdir mimpi-mimpi dan disempurnakannya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmatnya kepada dua orang bapamu sebelum itu, {iaitu} Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
7. Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada {kisah} Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang yang bertanya.
8. {Iaitu} ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya {Benyamin} lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita {ini} adalah satu golongan {yang kuat} .Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.”
9. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah {yang tidak dikenal} supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.”
10. Seorang daripada mrk berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah ia ke dalam perigi, supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir jika kamu hendak berbuat.” { Yusuf :4 ~ 10 }
Senin, 20 Februari 2012
BUKTI CINTA ISTRI
Suatu ketika, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahu para shahabatnya bahwa istri Umar bin Khattab termasuk penduduk jannah karena perilaku baiknya kepada suami.
Mendengar berita tersebut, para shahabat pun terpana. Memang kelebihan amalannya apa dan bagaimana ?
Karena ingin mendapatkan kebaikan, mereka bertanya kepada istri Umar perihal sikapnya kepada suami, Umar bin Khatab Radhiyallahu ‘Anhu.
Tahu, apa jawabannya ?
Jawabannya sangat sederhana….,
Bahkan sangat sederhana….,
Terkadang karena kesederhanaan jawaban itulah yang membuat ia begitu istimewa. Ia diberi jannah sebagai ganjarannya.
Ia pun menjawab pertanyaan para shahabat yang sudah menanti jawaban dengan penuh perhatian,
“Bila suamiku mencari kayu bakar,
Saat mencari rizki untuk kami,
Tentu ia merasakan kepenatan.
Teriknya matahari dan dahaga nyaris membakar rongga tenggorokannya.
Di rumah, aku menyiapkan air dingin untuknya
Sehingga….,
Ketika ia pulang, air tersebut bisa langsung mengobati dahaganya.
Aku juga telah merapikan perabotanku dan menyiapkan makanan untuknya.
Setiap hari….,
Aku menunggunya dengan mengenakan pakaian yang paling indah.
Ketika ia sudah berada di depan pintu rumah,
Aku menyambutnya bak seorang pengantian perempuan yang menyambut pasangan yang sangat dirindukannya.
Aku siap menyerahkan jiwaku kepadanya.
Jika ia hendak istirahat, aku pun akan membantunya.
Jika ia menginginkanku, aku pun berada di tulang hastanya,
Seperti anak kecil yang sedang dihibur ayahnya…..”
Indahnya…., jannah dunia seolah menjadi milik berdua saja.
Mudah kan…? so, jadikan sloganmu, “Baiti Jannati”
Fal Mau’id wal Jaza’, al-Jannah, janji dan balasannya adalah jannah.
NB; Umar bin Khatab pada kesehariannya bekerja mengumpulkan kayu bakar dari lereng gunung untuk kemudian dijual.Uang hasil penjualan tersebut kemudian dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
JAMU PRABAYAR
Suatu malam, seorang penjual jamu yang telah lima tahun menjanda karena ditinggal mati suaminya didatangi oleh anak perempuannya yang sulung. Anak ini menyampaikan bahwa besok adalah hari terakhir pembayaran uang bangunan dan SPP.
Jika sampai besok tunggakan uang bangunan dan uang sekolah tidak dilunasi, dia akan dikeluarkan dari sekolah. Ibu penjual jamu ini terkejut mendengarnya.Sesaat, seolah dunia menjadi gelap. Dia kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Ketika keterkejutan mulai mereda, dia diempaskan lagi oleh gelombang kekagetan berikutnya ketika si anak menyebutkan sejumlah angka sebagai total tunggakannya.
Napas sang Ibu segera saja menderu, keringat dingin mulai meleleh di keningnya, tangannya gemetar, dan suaranya menjadi lirih terputus-putus. Yang dapat dia ucapkan hanya mengulang nilai uang yang sudah disebutkan anaknya.
Tanpa bisa memberikan janji muluk-muluk kepada anak-nya, wanita penjual jamu itu beranjak ke tempat tidur untuk beristirahat sejenak.Akan tetapi, alih-alih dapat tidur dengan nyenyak, semakin dia mencoba memejamkan mata, semakin gelisah pula dia dibuatnya.
Ketika matanya rapat menutup, silih berganti bayangan yang menakutkan dan lintasan kejadian pada masa depan yang suram tergambar di benaknya bak sebuah film horor yang terus-menerus menghantui.
Dia pun berusaha menenangkan diri dengan membetulkan posisi tubuhnya dan berkali-kali dia menarik napas dalam dan mengembuskannya panjang-panjang.Sedikit demi sedikit otak-nya mulai dapat diajak berpikir.
Malangnya, setiap kali otaknya mengalkulasi, setiap kali itu pula dia merasa kepalanya dibenturkan ke sebuah dinding baja. Dengan segala macam tunggakan, utang di warung sebelah, bahan baku jamu yang belum terbayar semuanya, ketercukupan kebutuhan pangan hanya untuk sehari saja, dan beban harus membayar uang sekolah anaknya seolah melengkapi seluruh penderitaannya.
Hampir semalaman, dia takdapat memicingkan matanya, kasur yang tipis terasa semakin tipis.Kamar yang pengap kini terasa semakin membekap.Memang, dunia tak pernah memberikan ampun kepada mereka-mereka yang kalah.
Sepertiga malam yang penghujung pun terlalui.Rasa letih pun pada akhirnya mengalahkan semuanya.Setelah gelombang kekalutannya beranjak surut, akhirnya dia sampai pada sebuah kesadaran bahwa kepasrahan adalah satu-satunya jalan untuk meringankan beban perasaan.
Apa sih, yang bisa dilakukan seorang wanita lemah semacam dirinya. Dia tidak punya apa-apa selain keinginan untuk keluar dari permasalahan tersebut.Dia pun sadar, hanya Allahlah satu-satunya yang dapat menolong.Ketika jajan sudah buntu, ke kiri jurang ke kanan jurang, tidak ada lagi yang bisa dimintai pertolongan selain Zat yang mengatur segalanya.
Pada saat tetesan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, dia bergumam lirih, "Duh Gusti, hamba minta tolong dari segala kesulitan ini.Tidak ada yang bisa menjadi tempat bergantung selain pada-Mu."
Dibelainya kepala sang Anak yang tertidur di sampingnya perlahan. Damai terasa menyergap bersama dinginnya malam yang gelap.Dalam lelah, si Ibu tertidur setengah bertelekan di tepian ranjang kayu.Tidur yang teramat singkat, tiga puluh menit saja mungkin lamanya.
Ketika azan shubuh dari mushala sebelah berkumandang, sang Ibu merasa lebih segar. Pukul enam pagi, dia sudah berkemas dan siap untuk memulai berjualan dengan berjalan kaki.Telombong segera dipondong, botol-botol yang semula kosong kini telah kembali tampil kinclong.
Dia telah membulatkan tekad untuk menawarkan sebuah opsi kepada seorang pelanggan setianya. Dia akan mengajukan sebuah proposal, suplai jamu terusan dengan setengah pembayaran di muka, tentu saja untuk membayar uang sekolah anaknya.
Singkat kata, dengan tutur kata yang halus, disampaikanlah maksudnya.Sayang, rencana manusia terkadang berjalan takseirama dengan orkestrasi semula. Maksudnya itu dipahami, tetapi sang pelanggan tidak dapat membantunya. Lunglailah badan si Ibu penjual jamu itu.
Tak bersemangat lagi dia untuk menghadapi hari itu yang baginya terasa semakin mirip dengan neraka dunia.Rasa putus asa itu memang menghancurkan.Dia mengubah warna dari semula yang bak bianglala menjadi hegemoni tunggal hitam belaka.
Namun, dengan sisa tenaga yang ada, dia terus mencoba, dan akhirnya pada rumah kelima, proposalnya diterima. Tepat pukul dua, dia sudah duduk di depan meja petugas tata usaha sekolah anaknya. Enam lembar uang lima puluh ribuan pun berpindah tangan dan segera bertukar dengan selembar kertas kuitansi. Selembar kertas kumal yang baginya tampak seindah Pulau Bali.
Barang siapa hatinya dihadirkan oleh Allah kala berdoa, niscaya doa itu tidak akan ditolak. (Yahya bin Mu'adz Ar Razi)
Senin, 02 Januari 2012
MENANTI ADZAN MAGHRIB
Warung sate di sebelah selatan alun-alun kota ini tak pernah sepi dari pembeli. Selalu ramai sejak buka sore hari hingga tengah malam menjelang.
“Kamu masih ingat kalau kita pernah ke sini sebelumnya?” tanya Ayah pada si Bungsu yang duduk di sebelah kirinya, menunggu sate yang mereka pesan selesai dibakar.
“Ingat, Yah. Waktu bulan Ramadhan kemarin kan?” jawab si Bungsu bersemangat. Hidungnya kembang kempis mencium bau harum sate yang sedang dibakar. Tarian cacing yang sedang kelaparan terpancar dari raut wajah tak sabarnya.
“Betul!” Ayah menahan senyumnya melihat ekspresi si Bungsu yang memang hobi makan.
Seorang pelayan datang membawa dua teh botol di atas nampan. Ia sempat melirik ke arah si Bungsu yang tak terlalu memperhatikan kehadirannya. Tak ingin merusak suasana, sang pelayan segera mengurungkan niatnya untuk menggoda si Bungsu yang terlihat lucu dan menggemaskan. Sebagai gantinya, ia mengangguk pada Ayah sambil mempersilakan untuk menikmati minuman yang ia suguhkan.
“Dibanding bulan Ramadhan kemarin, perbedaan apa yang kamu rasakan sejak kita datang tadi hingga sekarang kita duduk di sini?” Ayah kembali bertanya.
“Penjaja makanannya tak sebanyak waktu bulan Ramadhan, Yah!” jawab sang bocah spontan.
Kali ini Ayah tak bisa menahan senyumnya mendengar jawaban polos si Bungsu. Ayah bisa menduga apa yang ada dalam benak si Bungsu, tak ada yang lebih menarik perhatian bocah bertubuh tambun itu selain makanan.
“Bukan itu yang Ayah maksudkan”
“Tapi benar kan Yah? Waktu bulan Ramadhan, puluhan bahkan mungkin ratusan penjual makanan dan minuman berjajar di sekeliling alun-alun” protes si Bungsu agak berlebihan, mengatakan jumlah penjaja makanan yang mangkal di sekeliling alun-alun mencapai ratusan.
“Iya, benar. Tapi selain penjual makanan yang jauh berkurang, apa kamu tadi memperhatikan kalau jumlah jamaah shalat Maghrib di masjid juga jauh berkurang?”
Sang bocah diam, tak menjawab. Ia tak menduga kalau itu yang Ayah maksudkan.
“Jumlah orang yang datang ke alun-alun ini masih sama banyak seperti dulu, atau bahkan mungkin semakin bertambah. Tapi bedanya, saat bulan Ramadhan alun-alun ini menjadi sepi beberapa saat setelah adzan Maghrib berkumandang. Gantinya, masjid Baiturrohiim yang berada di sisi barat alun-alun menjadi penuh dengan jamaah yang akan shalat Maghrib berjamaah. Tapi kalau tadi kamu memperhatikan, yang terjadi justru sebaliknya. Meski kita datang agak terlambat, kita masih mendapatkan shaft ke tiga karena memang tak ada shaft lagi di belakang kita. Sementara, alun-alun ini tetap ramai. Mereka yang berolah raga atau sekedar duduk-duduk sambil ngobrol masih tetap pada aktivitasnya, posisinya masing-masing, tak bergeming. Tak mungkin suara muadzin tak sampai ke telinga mereka. Sayangnya, di luar Ramadhan, bagi mereka mungkin adzan Maghrib tak menarik lagi. Tak lagi dinanti. Astaghfirullah!”
Si Bungsu mengedarkan pandangannya ke alun-alun di depannya. Benar kata Ayah, beberapa remaja masih asyik berlarian mengejar bola di alun-alun sebelah utara. Meski beberapa jamaah shalat Maghrib sudah bubar, mereka tetap asyik bermain bola di terangi lampu penerangan jalan. Juga mereka yang sedang bermain tennis di sudut barat daya alun-alun. Dan di tengah lapangan, di bawah pohon beringin, belasan pemuda duduk sambil bercanda. Di sebelah tenggara, tak jauh dari warung sate ini, beberapa orang duduk berkelompok di atas tikar, menikmati aneka jajanan sambil bercanda dengan anggota keluarganya.
Pemandangan seperti ini sudah ada sejak ia dan Ayah datang beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang dan masih terlihat sama ketika mereka selesai shalat berjamaah di masjid Baiturrohim yang ada di sebelah barat alun-alun. Semua pemandangan ini memancing si Bungsu untuk bertanya, apakah mereka sudah shalat? Kapan dan dimana? Ia yakin, dari semua yang ia lihat, ada di antaranya adalah seorang muslim. Yang ia tak yakin, apakah mereka sudah shalat. Dimana? Yang ia lihat, masjid sebesar itu hanya di isi tiga shaft jamaah, itupun dilihat dari pakaiannya mereka adalah warga yang tinggal di sekitar masjid. Dan sebagian besar adalah jamaah yang sudah lanjut usia.
“Apa mereka tadi shalat Maghrib, Yah?” karena penasaran, sang bocah akhirnya bertanya.
“Entahlah. Mereka sudah shalat apa belum, Ayah tidak tahu. Mudah-mudahan, apapun yang mereka lakukan sekarang, itu karena mereka sudah shalat. Kita bisa saja tadi tak melihat mereka di masjid, karena mereka shalat di tempat lain. Atau mungkin juga sebagian belum shalat dengan berbagai alasan. Tapi sangat disayangkan kalau mereka belum shalat, menunda-nunda waktu untuk shalat, padahal pahala terbesar adalah ketika shalat dilaksanakan di awal waktu, secara berjamaah di masjid. Dan yang kita temukan, masjid Baiturrohim yang begitu megah ternyata sepi. Kebalikannya, alun-alun ini masih saja dan bahkan semakin ramai.” Ayah menjawab lirih. Matanya menatap kubah masjid Baiturrohiim yang terlihat lebih megah dibalut sinar kuning dari lampu yang memancar di bawahnya.
“Apa mereka yang di sana tadi juga shalat Maghrib, Yah?” tanya si Bungsu sambil menunjuk ke arah televisi yang diletakkan di tempat yang strategis hingga semua pengunjung warung sate ini bisa melihat dengan jelas, di manapun mereka duduk.
“Apa ribuan penonton dalam stadion itu tadi shalat Maghrib, Yah?” sekali lagi si Bungsu bertanya.
Tampak di layar televisi ribuan penonton memadati stadion untuk melihat pertandingan sepak bola yang baru akan dimulai paling cepat setengah jam lagi. Tapi seperti yang disampaikan oleh reporter yang tak kalah semangat menyampaikan laporannya bahwa stadion ini telah dipenuhi ribuan penonton sejak pukul lima sore bahkan ada beberapa rombongan yang sudah datang sejak beberapa jam sebelumnya. Melihat kenyataan ini, tak heran bila si Bungsu kemudian bertanya, apakah mereka yang sudah berebut rela meninggalkan tempat duduknya untuk shalat Maghrib dulu. Seberapa banyak di antara ribuan penonton itu yang ingat akan shalat, kewajiban bagi setiap diri seorang muslim?
Ayah teringat jawaban seorang rekan kerjanya ketika satu ketika Ayah bertanya, apakah di stadion itu tersedia mushalla yang memadai untuk jumlah pengunjung yang mencapai ribuan hingga mereka bisa melaksanakan shalat dengan nyaman? Ayah bertanya karena belum pernah sekalipun datang ke sana. Tak terbayang bagaimana panjangnya antrian, dan penuhnya mushalla atau ruangan apapun yang difungsikan untuk itu.
Tapi apa yang dibayangkan Ayah ternyata jauh dari kenyataan. Meski tidak bisa dikatakan mewakili seluruh pengunjung stadion, tapi jawaban rekan kerja Ayah memberikan sedikit gambaran bagaimana sebenarnya keadaan di sana.
“Kami jauh-jauh datang ke stadion untuk menonton bola, memberi dukungan kepada tim kesebelasan kebanggaan kita, kenapa kamu malah bertanya tentang mushalla?” tanyanya tak mengerti apa yang sedang Ayah pikirkan.
“Kalau pertandingan baru dimulai pukul tujuh, sementara kamu datang sejak pukul lima, itu artinya saat Maghrib kamu sudah ada di sana. Bagaimana dengan shalatmu?” Ayah memperjelas pertanyaannya.
“Shalat Maghrib?” Ia berhenti sejenak, terlihat ragu untuk menjawab. “Kan bisa dijamak, nanti sepulang dari sana. Kalau tidak kecapekan” jawabnya kemudian. Terlihat enteng, tanpa beban bahkan sambil tertawa.
“Astaghfirullah!” ucap Ayah lirih. Perih.
Alangkah menyedihkan jika ternyata jawaban rekan kerjanya adalah juga jawaban sebagian besar penonton yang hadir di stadion. Untuk memberikan dukungan, menyaksikan pertandingan tim kesebelasan yang mereka banggakan, mereka rela bahkan memaksa datang berjam-jam sebelum pertandingan di mulai. Meninggalkan pekerjaan, melalaikan kewajiban, menggunakan berbagai cara dan alasan agar bisa datang dan mendapat tempat duduk yang nyaman.
Meski pertandingan baru akan dimulai selepas Isya, sejak Ashar mereka sudah tiba, dan duduk ‘manis’ menunggu pertandingan dimulai, pura-pura tak mendengar suara adzan Maghrib yang berkumandang. Tak ada yang lebih menarik selain pertandingan segera dimulai. Sementara adzan Maghrib bukanlah yang dinanti. Adzan Maghrib hanya menarik di bulan Ramadhan, karena itu menandakan sudah boleh berbuka. Tapi di luar Ramadhan, adzan Maghrib tak lagi dinanti. Untuk apa? Berbuka? Siapa yang berpuasa? Astaghfirullah! Lupakah bahwa ketika adzan sudah berkumandang, maka wajiblah bagi kita segera mendirikan shalat. Dan untuk menjamak shalat jelas ada syarat dan ketentuannya. Menonton pertandingan sepak bola jelas bukan alasan yang membolehkan shalat dijamak.
Dan apakah karena tidak sedang berpuasa lalu adzan Maghrib menjadi tak menarik lagi, tak lagi dinanti?
“Kamu masih ingat kalau kita pernah ke sini sebelumnya?” tanya Ayah pada si Bungsu yang duduk di sebelah kirinya, menunggu sate yang mereka pesan selesai dibakar.
“Ingat, Yah. Waktu bulan Ramadhan kemarin kan?” jawab si Bungsu bersemangat. Hidungnya kembang kempis mencium bau harum sate yang sedang dibakar. Tarian cacing yang sedang kelaparan terpancar dari raut wajah tak sabarnya.
“Betul!” Ayah menahan senyumnya melihat ekspresi si Bungsu yang memang hobi makan.
Seorang pelayan datang membawa dua teh botol di atas nampan. Ia sempat melirik ke arah si Bungsu yang tak terlalu memperhatikan kehadirannya. Tak ingin merusak suasana, sang pelayan segera mengurungkan niatnya untuk menggoda si Bungsu yang terlihat lucu dan menggemaskan. Sebagai gantinya, ia mengangguk pada Ayah sambil mempersilakan untuk menikmati minuman yang ia suguhkan.
“Dibanding bulan Ramadhan kemarin, perbedaan apa yang kamu rasakan sejak kita datang tadi hingga sekarang kita duduk di sini?” Ayah kembali bertanya.
“Penjaja makanannya tak sebanyak waktu bulan Ramadhan, Yah!” jawab sang bocah spontan.
Kali ini Ayah tak bisa menahan senyumnya mendengar jawaban polos si Bungsu. Ayah bisa menduga apa yang ada dalam benak si Bungsu, tak ada yang lebih menarik perhatian bocah bertubuh tambun itu selain makanan.
“Bukan itu yang Ayah maksudkan”
“Tapi benar kan Yah? Waktu bulan Ramadhan, puluhan bahkan mungkin ratusan penjual makanan dan minuman berjajar di sekeliling alun-alun” protes si Bungsu agak berlebihan, mengatakan jumlah penjaja makanan yang mangkal di sekeliling alun-alun mencapai ratusan.
“Iya, benar. Tapi selain penjual makanan yang jauh berkurang, apa kamu tadi memperhatikan kalau jumlah jamaah shalat Maghrib di masjid juga jauh berkurang?”
Sang bocah diam, tak menjawab. Ia tak menduga kalau itu yang Ayah maksudkan.
“Jumlah orang yang datang ke alun-alun ini masih sama banyak seperti dulu, atau bahkan mungkin semakin bertambah. Tapi bedanya, saat bulan Ramadhan alun-alun ini menjadi sepi beberapa saat setelah adzan Maghrib berkumandang. Gantinya, masjid Baiturrohiim yang berada di sisi barat alun-alun menjadi penuh dengan jamaah yang akan shalat Maghrib berjamaah. Tapi kalau tadi kamu memperhatikan, yang terjadi justru sebaliknya. Meski kita datang agak terlambat, kita masih mendapatkan shaft ke tiga karena memang tak ada shaft lagi di belakang kita. Sementara, alun-alun ini tetap ramai. Mereka yang berolah raga atau sekedar duduk-duduk sambil ngobrol masih tetap pada aktivitasnya, posisinya masing-masing, tak bergeming. Tak mungkin suara muadzin tak sampai ke telinga mereka. Sayangnya, di luar Ramadhan, bagi mereka mungkin adzan Maghrib tak menarik lagi. Tak lagi dinanti. Astaghfirullah!”
Si Bungsu mengedarkan pandangannya ke alun-alun di depannya. Benar kata Ayah, beberapa remaja masih asyik berlarian mengejar bola di alun-alun sebelah utara. Meski beberapa jamaah shalat Maghrib sudah bubar, mereka tetap asyik bermain bola di terangi lampu penerangan jalan. Juga mereka yang sedang bermain tennis di sudut barat daya alun-alun. Dan di tengah lapangan, di bawah pohon beringin, belasan pemuda duduk sambil bercanda. Di sebelah tenggara, tak jauh dari warung sate ini, beberapa orang duduk berkelompok di atas tikar, menikmati aneka jajanan sambil bercanda dengan anggota keluarganya.
Pemandangan seperti ini sudah ada sejak ia dan Ayah datang beberapa menit sebelum adzan Maghrib berkumandang dan masih terlihat sama ketika mereka selesai shalat berjamaah di masjid Baiturrohim yang ada di sebelah barat alun-alun. Semua pemandangan ini memancing si Bungsu untuk bertanya, apakah mereka sudah shalat? Kapan dan dimana? Ia yakin, dari semua yang ia lihat, ada di antaranya adalah seorang muslim. Yang ia tak yakin, apakah mereka sudah shalat. Dimana? Yang ia lihat, masjid sebesar itu hanya di isi tiga shaft jamaah, itupun dilihat dari pakaiannya mereka adalah warga yang tinggal di sekitar masjid. Dan sebagian besar adalah jamaah yang sudah lanjut usia.
“Apa mereka tadi shalat Maghrib, Yah?” karena penasaran, sang bocah akhirnya bertanya.
“Entahlah. Mereka sudah shalat apa belum, Ayah tidak tahu. Mudah-mudahan, apapun yang mereka lakukan sekarang, itu karena mereka sudah shalat. Kita bisa saja tadi tak melihat mereka di masjid, karena mereka shalat di tempat lain. Atau mungkin juga sebagian belum shalat dengan berbagai alasan. Tapi sangat disayangkan kalau mereka belum shalat, menunda-nunda waktu untuk shalat, padahal pahala terbesar adalah ketika shalat dilaksanakan di awal waktu, secara berjamaah di masjid. Dan yang kita temukan, masjid Baiturrohim yang begitu megah ternyata sepi. Kebalikannya, alun-alun ini masih saja dan bahkan semakin ramai.” Ayah menjawab lirih. Matanya menatap kubah masjid Baiturrohiim yang terlihat lebih megah dibalut sinar kuning dari lampu yang memancar di bawahnya.
“Apa mereka yang di sana tadi juga shalat Maghrib, Yah?” tanya si Bungsu sambil menunjuk ke arah televisi yang diletakkan di tempat yang strategis hingga semua pengunjung warung sate ini bisa melihat dengan jelas, di manapun mereka duduk.
“Apa ribuan penonton dalam stadion itu tadi shalat Maghrib, Yah?” sekali lagi si Bungsu bertanya.
Tampak di layar televisi ribuan penonton memadati stadion untuk melihat pertandingan sepak bola yang baru akan dimulai paling cepat setengah jam lagi. Tapi seperti yang disampaikan oleh reporter yang tak kalah semangat menyampaikan laporannya bahwa stadion ini telah dipenuhi ribuan penonton sejak pukul lima sore bahkan ada beberapa rombongan yang sudah datang sejak beberapa jam sebelumnya. Melihat kenyataan ini, tak heran bila si Bungsu kemudian bertanya, apakah mereka yang sudah berebut rela meninggalkan tempat duduknya untuk shalat Maghrib dulu. Seberapa banyak di antara ribuan penonton itu yang ingat akan shalat, kewajiban bagi setiap diri seorang muslim?
Ayah teringat jawaban seorang rekan kerjanya ketika satu ketika Ayah bertanya, apakah di stadion itu tersedia mushalla yang memadai untuk jumlah pengunjung yang mencapai ribuan hingga mereka bisa melaksanakan shalat dengan nyaman? Ayah bertanya karena belum pernah sekalipun datang ke sana. Tak terbayang bagaimana panjangnya antrian, dan penuhnya mushalla atau ruangan apapun yang difungsikan untuk itu.
Tapi apa yang dibayangkan Ayah ternyata jauh dari kenyataan. Meski tidak bisa dikatakan mewakili seluruh pengunjung stadion, tapi jawaban rekan kerja Ayah memberikan sedikit gambaran bagaimana sebenarnya keadaan di sana.
“Kami jauh-jauh datang ke stadion untuk menonton bola, memberi dukungan kepada tim kesebelasan kebanggaan kita, kenapa kamu malah bertanya tentang mushalla?” tanyanya tak mengerti apa yang sedang Ayah pikirkan.
“Kalau pertandingan baru dimulai pukul tujuh, sementara kamu datang sejak pukul lima, itu artinya saat Maghrib kamu sudah ada di sana. Bagaimana dengan shalatmu?” Ayah memperjelas pertanyaannya.
“Shalat Maghrib?” Ia berhenti sejenak, terlihat ragu untuk menjawab. “Kan bisa dijamak, nanti sepulang dari sana. Kalau tidak kecapekan” jawabnya kemudian. Terlihat enteng, tanpa beban bahkan sambil tertawa.
“Astaghfirullah!” ucap Ayah lirih. Perih.
Alangkah menyedihkan jika ternyata jawaban rekan kerjanya adalah juga jawaban sebagian besar penonton yang hadir di stadion. Untuk memberikan dukungan, menyaksikan pertandingan tim kesebelasan yang mereka banggakan, mereka rela bahkan memaksa datang berjam-jam sebelum pertandingan di mulai. Meninggalkan pekerjaan, melalaikan kewajiban, menggunakan berbagai cara dan alasan agar bisa datang dan mendapat tempat duduk yang nyaman.
Meski pertandingan baru akan dimulai selepas Isya, sejak Ashar mereka sudah tiba, dan duduk ‘manis’ menunggu pertandingan dimulai, pura-pura tak mendengar suara adzan Maghrib yang berkumandang. Tak ada yang lebih menarik selain pertandingan segera dimulai. Sementara adzan Maghrib bukanlah yang dinanti. Adzan Maghrib hanya menarik di bulan Ramadhan, karena itu menandakan sudah boleh berbuka. Tapi di luar Ramadhan, adzan Maghrib tak lagi dinanti. Untuk apa? Berbuka? Siapa yang berpuasa? Astaghfirullah! Lupakah bahwa ketika adzan sudah berkumandang, maka wajiblah bagi kita segera mendirikan shalat. Dan untuk menjamak shalat jelas ada syarat dan ketentuannya. Menonton pertandingan sepak bola jelas bukan alasan yang membolehkan shalat dijamak.
Dan apakah karena tidak sedang berpuasa lalu adzan Maghrib menjadi tak menarik lagi, tak lagi dinanti?
Langganan:
Postingan (Atom)